SUMUR KERAMAT (SUMUR GEDE) NYIMAS RA KAWUNGANTEN |
PETILASAN NYI MAS RA KAWUNGAN |
Bila kita meninjau secara umum perkernbangan Islam sejak masa Rasulullah hingga Abada ke 15 H ini mengalami 4 periode :
1. Periode Hasa Rasullullah hingga masa Al-Khalifatul Rasyidin
2. Periode masa daulat muawiyah sampai daulat Abasiya
3. Periode kemunduran masa daulat Mukholiyah sampai abad ke 14 H
4. Periode kebangkitan mulai abad 15 H sampai sekarang
Dengan
mengetahui perkembangan Islam para pembaca dan pecinta ilmu pengetahuan
diharapkan menyadari bahwa Islam senantiasa bertumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan jaman.
Menurut
babad Cirebon pada tahun 1420 M, ditanah Cirebon ada seorang guru ulama
besar yang terkenal yaitu Syech Nurjati (Syech Idhofi) berasal dari
negeri Bagahad (Irak). Akan tetapi penyebaran Islam
di wilayah Cirebon Meluas melalui syech Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Sedang masa itu di wilayah jawa barat bagian utara ada
suatu hutan yang bernama HUTAN LEBAK SUNGSANG.
MENGENAL NAMA
DESA KEDOKANBUNDER
DESA KEDOKANBUNDER
Bagi
para pembaca mungkin sudah banyak yang tak asing lagi mendengar nama
kedokanbunder, disamping itu ternyata timbul beberapa pertanyaan antara
lain.
1. Apa kedokan bunder itu ?
2. Bagaimana asal usul kedokanbunder ?
3. Mengapa dikatakan kedokanbunder ?
Maka dengan itu saya mencoba menjawabnva dengan uraian sebagai berikut :
· Kedokanbunder adalah nama sebuah kampung yang letaknya berbatasan dengan Kabupaten Cirebon.
· Kedokanbunder termasuk ibu kota kecamatan kedokanbunder kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat.
BABAD HUTAN LEBAK SUNGSANG
DESA KEDOKANBUNDER
Al
kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya
Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan
bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan
Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati
memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan
pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin
dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan
istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah
Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui
atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat
cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara
Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan
keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem
tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan
berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau
Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon
(udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager
Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki
Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada
dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah
mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan
keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan
Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit”
Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah
mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka
rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju
tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka
rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas
bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas
tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama
Desa Tegalagung.
Rombongan
berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah
menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di
bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak
binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah
beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya
membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan
Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam
sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir
satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak
sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak
buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum
lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk
siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular
Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang)
Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam
tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam
kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata
dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan
Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan
Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka
Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada
disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang
memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan
RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas
saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk
tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4
gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang
beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah
di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah
Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas
wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan
dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang
meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah
selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak
Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat
dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah
barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu
(sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan
Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok)
beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang
di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di
atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk
tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan)
yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah
selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas
pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari
Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling
tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran
dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta)
berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang disebut
sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di
bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi
setiap tahunnya.
Setelah
itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang
kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak
orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang
yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat
bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya
harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak
Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab,
keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan
juga dari Demak.
Setelah
banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau
bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa
kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar
menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah
maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air
yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah
tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai
tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan
dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air
tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih
terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak
Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok
tanam.
Kesaktian
belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak
negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau.
Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna
JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40
orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau
menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki
Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKANBUNDER.
Dalam
peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya
beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak
isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti
Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian
muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua
ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon
dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk"
(Arti
kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada
tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya
itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai
tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya.
Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan
juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya.
Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah),
SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas
Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi
penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita.
SIL-SILAH
NYI MAS RATU AYU KAWUNGANTEN
KEDOKANBUNDER
SAKA DOMAS
KI GEDENG JAROH ANTE
TUBAGUS WARIDAH
TUBAGUS WARIDAH
SUMBER:
1. Pangeran Sulaeman Sulendra Ningrat : Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon.
2. Nata Atmaja : Macapat Dandang Gula, Sinom, Singgul Ratu GENI
3. Narwa : Macapat Kinanti, Babad Pedukuhan Kedokanbunder
4. Abah Karsana : Cerita Rakyat Babad Alas Lebak Sungsang
5. Kamad : Cerita Sumur Gede Kedokanbunder
6. Leluhur : Sejarah dan Sil-Silah Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten Kedokanbunder
KETERANGAN
1. Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah istri kedua dari Syech Syarif Hidayatullah.
2. Hasil dari pernikahannya mempunyai keturunan dua orang anak :
a. Ratu Winaon
b. Sabah Kingking (Sultan Hasanuddin Banten)
3. Setelah dewasa Ratu Winaon menikah dengan pangeran dari Telaga keturunan Ratu Galuh yaitu SULTAN ALI BASYAH
4. Sultan Hasanuddin setelah diangkat jadi Radja di Banten dan Menetap di Banten.
SUSUNAN
PARA PEMIMPIN YANG TELAH MEMIMPIN
DESA KEDOKANBUNDER
1. Ki Madris Tahun 1797 – 1850 selama 53 Tahun
2. Ki Pangi Tahun 1850 – 1856 selama 06 Tahun
3. Ki Sarijem Tahun 1856 – 1876 selama 20 Tahun
4. Ki Abdurakhman Tahun 1876 – 1913 selama 37 Tahun
5. Ki Kasum Tahun 1913 – 1945 selama 37 Tahun
6. Ki Diyol Tahun 1945 – 1946 selama 01 Tahun
7. Ki Sangid Tahun 1946 – 1947 selama 06 Bulan
8. Ki Somad Tahun 1947 – 1948 selama 1 Tahun
9. Ki Kasum Tahun 1948 – 1962 selama 14 Tahun
10. Ki Mursina Tahun 1962 – 1967 selama 05 Tahun
11. Abdul Muin Rais Tahun 1967 – 1969 selama 03 Bulan *
12. Pj. M. Sidik Tahun 1969 – 1974 selama 05 Tahun
13. M. Mansur Tahun 1974 – 1977 selama 03 Tahun
14. Pj. M. Mawardi Tahun 1977 – 1978 selama 06 Bulan
15. HM. Kasan Bisri Tahun 1978 – 1988 selama 10 Tahun
16. H. Mashudi Irsad (Otong) Tahun 1988 – 1998 selama 10 Tahun
17. H. Munika Tahun 1998 – 2008 selama 10 Tahun
18. Karta Tahun 2008
-
SEJARAH BABAD ALAS LEBAKSUNGSANG DESA KEDOKANBUNDER SUMUR KERAMAT (SUMUR GEDE) NYIMAS RA KAWUNGANTEN PETILASAN NYI MAS RA KAWUNGANTENBY.comunity tembelek...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar